Friday, January 6, 2012

LP'ers The Series (I)


             Bermula di pertengahan tahun 2001 yang random, lebih dari 10 thn yang lalu. Kami saling dipertemukan di sebuah sekolah lanjutan pertama, tanpa menyadari satu sama lain bahwa nantinya takdir Allah akan terus membuat kami bersama.  MTsN 1 Model P.Raya, sekolah kenangan. Sekolah yang menyebabkan impian anak-anak (untuk dapat mengenang indahnya masa-masa SMP) menjadi kenyataan *agak terdengar hiperbola*
                Saya, mendapat nama panggilan baru di sekolah itu, Norka. Nama yang akhirnya lebih banyak digunakan dalam kehidupan saya di hari-hari berikutnya. Waktu itu saya masuk kelas 1-2. Beberapa lama menjalani hari, seorang murid baru diperkenalkan di ruang kelas kami. Dengan masih sangat jelas, saya mengingatnya menggunakan jam tangan berwarna pink dengan sapu tangan yang dibawanya ke mana-mana. Anak centil, saya menyimpulkan. Entah menggunakan rumus logika matematika yang mana hingga akhirnya saya mengambil kesimpulan tsb.

 
Oh ya, namanya Herlina. Tapi katanya dia biasa dipanggil Elen, itu nama kecilnya katanya. Semakin saya yakin, dia anak yang belagu. Saya baru sekali mendapati seorang bernama Herlina minta dipanggil sbg Elen, agak tidak masuk akal kedengarannya. Ternyata oh ternyata, jauh panggang dari api. Sekali lagi ternyata, dia anak yang menyenangkan. Dalam waktu yang singkat kami merasa klop satu sama lain. Sering ke kantin bareng,  berkunjung ke rumahnya, jalan-jalan bersepeda, serta sedikit dibumbui dengan tugas utama seorang siswa; belajar bareng. Dari Elen saya belajar peduli dan empati. Elen menunjukkan dirinya sbg orang yang gampang tidak tega-an & mempunyai kekhawatiran terhadap perasaan orang lain secara berlebihan, dan saya belajar untuk tidak seperti dia ^^. Tapi yang mungkin saya tidak mampu menyamai kualitas dalam pribadinya adalah; dia seorang yang tegar dan sosok yang siap menjadi sandaran bagi orang-orang di sekelilingnya. Ketika mamanya berpulang, anak bungsu ini yang menunjukkan ketegaran luar biasa. Sesuatu yang tidak pernah saya ungkapkan padanya. Dia telah menjadi penyokong dan arus utama ketabahan yang ada saat itu di tengah-tengah keluarganya. Dia memaksa dirinya mengambil peran itu, di saat yang lain sangat terpukul dengan kepergian sang mama. Di sisi lain, bagi saya kadang Elen terlalu merendahkan diri. Dia menganggap dirinya tidak bisa atau tidak pantas terhadap banyak hal, padahal kenyataannnya tidaklah demikian. Dia hanya kurang percaya dengan kemampuannya sendiri, begitu menurut saya. Dia mungkin pesimis, begitu menurut Wiwi. 
                                                      (sumber:Google)
             
            Wiwi..Dari kelas tetangga, kelas 1-1, ternyata Allah menghadiahi (atau mungkin menimpakan) saya seseorang yang lain. Wiwi Fajriati. Saat SMP kami tidak berkolaborasi secara intens. Rasanya dunia kami jauh berbeda. Dia sudah mempunyai faktor genetik dari lahir untuk menjadi makhluk yang cerewet, setidaknya begitu dulu saya menilainya. Kebersamaan kami yang berlanjut ke masa SMA lah yang akhirnya menjadi gerbang pembuka persahabatan kami. Dulu, sebelum bergaul dekat dengan kami, wiwi bisa diasosiasikan sebagai anak remaja yang gila terhadap sosok idola. Mulai dari Tommy Kurniawan, Vicky Nitinegoro, dan artis-artis Taiwan yang waktu itu sedang populer, pokoknya yang tampang gantengnya 11-12 tidak akan luput dari radar perburuan wiwi. Namun jalan hidup kadang memang tidak bisa diduga. Beberapa tahun terakhir dia menjadi sosok dengan akselerasi perbaikan diri yang luar biasa. Dia mulai mendalami agama, ikut banyak diskusi, dan membuka jalinan pertemanan dengan orang-orang yang alim. Sesuatu yang dulu tidak bisa dibayangkan. Alhasil, wiwi yang dulu memgidolakan artis-artis ganteng kini berubah menjadi wiwi yang mengidolakan ikhwan-ikhwan alim (hehehe). All in all, dari wiwi saya belajar ketulusan. Ia dengan perhatiannya menyadarkan saya bahwa selalu ada orang-orang hebat di sekeliling saya yang siap menangkap jika saya terjatuh. Dia selalu mempercayai saya, mepercayai mimpi-mimpi saya, seberapapun banyaknya alasan yang seharusnya membuat dia tidak mempercayai saya, tapi dia memilih untuk percaya. Kata-katanya selalu saya tanam dalam-dalam di ingatan saya, “Aku tidak pernah bisa membayangkan kalau Allah mengambil salah satu dari kalian. Sungguh tidak bisa membayangkan bila kita harus kehilangan satu sama lain. Dan sungguh tidak membayangkan bagaimana rasanya bila hidup dilalui tanpa kalian..” Sangat membahagiakan bukan? Mendapati diri kita sangat berharga bagi orang lain, sama membahagiakannya karena kita mendapati bahwa orang-orang tsb mampu membuat dunia kita berputar pada porosnya dan tidak kehilangan gaya gravitasinya *sedikit melankolis*.
(bersambung...)

No comments:

Post a Comment