Selalu menguras emosi. Itulah yang
kurasakan. Beberapa menit yang lalu aku menyelesaikan membaca salah satu buku
karya Torey Hayden yang berjudul “Mereka Bukan Anakku:Jalinan Kasih yang
Tersisih” atau yang dalam versi aslinya berjudul “Somebody Else’s Kids”. Sama
seperti buku Torey yang sebelumnya pernah kubaca, di buku ini pun Torey
menceritakan pengalamannya dalam menangani dan mengajar anak-anak berkebutuhan
khusus; ada Lori, anak yang mengalami kerusakan otak akibat siksaan orang
tuanya; si Boo, anak autistik yang seperti hidup di “dunia peri”; Tomaso, anak
temperamental yang emosinya terganggu karena pernah menyaksikan kejadian
traumatis (ayahnya ditembak mati oleh ibu tirinya di depan matanya sendiri);
serta ada Claudia, gadis dua belas tahun yang hamil.
Tak terhitung berapa kali aku
menangis ketika membaca buku Torey.
Sebagian besar menangis karena sedih membayangkan berbagai macam hal
yang dialami Torey bersama anak didiknya. Yang lebih parah, Torey mampu
membuatku merasa sedih, bahkan setelah aku menamatkan membaca bukunya. Rasa sedih yang belum mampu aku jelaskan
mengapa dan bagaimana; sejauh ini aku hanya mampu meraba.
Mungkin aku sedih melihat bagaimana
Torey dapat merasa begitu bahagia di antara sekian banyak keterbatasan - baik
fisik maupun mental – yang diderita murid-muridnya. Mungkin juga aku sedih
ketika mendapati Torey dapat begitu memaknai hal-hal yang terjadi di
sekelilingnya; menjadikan batas penting dan tidak penting; berguna-tidak
berguna; berarti-tidak berarti; yang biasanya diberikan oleh kita manusia
menjadi bias dan tak kasat mata. Dan sangat mungkin aku merasa sedih karena
Torey mampu menyadarkanku akan “keakuan” yang selama ini menjadi poros hidupku.
Selama ini pikirku, aku adalah segala
stimulus terjadinya hal-hal disekitarku. Aku begitu peduli terhadap “Aku”. Aku
juga mencoba untuk peduli pada orang lain, tapi tentu saja setelah aku
menghabiskan waktu dengan “Aku”. Aku selalu memikirkan tentang rencanaku,
bagaimana aku, akan seperti apa aku, dan bermacam-macam hal mengenai aku; tanpa
benar-benar peduli pada yang lainnya. Egosentris, itulah selama ini “Aku”.
Aku menyadari hal itu, meskipun
mungkin belum banyak yang telah ku lakukan untuk memperbaikinya.
Setidaknya setelah membaca buku Torey
aku menyadari bahwa ada begitu banyak hal-hal penting lain selain apa yang
selama ini aku anggap penting. Setidaknya terbersit keinginan untuk mencoba
belajar; berusaha agar aku mampu lebih berempati. Mencoba menyadari bahwa dunia
ini berputar bukan hanya karena “Aku”, dan Allah pun menciptakan kehidupan
tidak semata untuk “Aku”.
Mengenai buku Torey, mungkin ini buku
ke tiga Torey yang pernah aku baca. Dalam menikmati karya Torey aku tidak
sendiri. Setidaknya dulu ketika memulainya aku tidak sendiri. Dulu aku bersama
Dina Hayati. Dia lah yang memperkenalkan kami; aku dan Torey Hayden, itu
mungkin sekitar tujuh atau delapan tahun yang lalu saat kami masih duduk di
bangku SMA. Melalui buku yang kupinjam darinya aku menjadi tahu cerita Torey
tentang Sheila; itu salah satu buku Torey yang terkenal.
Dengan membaca kembali karangan Torey
kali ini, aku sekaligus membangkitkan kenangan akan sosok Dina Hayati. Sosok
yang menyisakan ruang kosong di hatiku setelah kepergiannya ke alam baka
sekitar empat tahun yang lalu. Sosok yang tidak mungkin dapat kujumpai lagi
betapapun aku merindukannya. Yah, inilah akhirnya..Membaca buku Torey Hayden
sangat berguna, mengingatkanku pada dua hal sekaligus; untuk belajar
mengendalikan ke-Aku-an ku serta untuk mengingatkanku kembali akan nuansa
kehidupan dan indahnya persahabatan yang Dina tawarkan. Kali ini posisinya
berubah, dahulu Dina lah yang memperkenalkan aku dengan Torey hayden, tapi
sekarang Torey lah yang membuat aku dan Dina reuni kembali, meskipun terbatas
pada ruang imajiner dalam pikiran dan hatiku.
Senang rasanya beberapa hal di
sekitarku, bahkan mungkin sekali itu hal yang kecil dan tidak berarti bagi
banyak orang, namun mampu menghubungkan aku dengan sosok Dina. Hal-hal yang
dulu sering kami lakukan bersama-sama atau hal-hal yang dulu sama-sama kami
suka. Pun begitu, ketika melihat nama Torey Hayden tertera pada sebuah buku di
rental penyewaan buku beberapa hari yang lalu, aku bergegas mengambilnya.
Terhadap banyak alasan, aku sangat bersyukur bahwa pada akhirnya aku menyewa
buku ini dan membacanya..
(Kamis, 10 Mei 2012; 23.02 WIB)
No comments:
Post a Comment